Beranda | Artikel
Bagaimana Orang Awam Menyikapi Perbedaan Pendapat Ulama?
Minggu, 8 Oktober 2023

Pertanyaan:

Bagaimana semestinya orang awam menyikapi perbedaan pendapat di antara ulama?

Jawaban:

Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du,

Dalam menyikapi khilafiyah (perbedaan pendapat) di antara para ulama, hendaknya kita berusaha menimbangnya dengan dalil. Allah ta’ala berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisa: 59).

Allah ta’ala juga berfirman:

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

“Tentang sesuatu yang kalian perselisihkan maka kembalikan putusannya kepada Allah” (QS. Asy-Syura: 10).

Dari Al-Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Sesungguhnya sepeninggalku akan terjadi banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah khulafa ar rasyidin. Peganglah ia erat-erat, gigitlah dengan gigi geraham kalian” (HR. Abu Daud no.4607, Ibnu Majah no.42, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud).

Al-‘Allamah Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan: “Kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah itu menghilangkan permusuhan dan perselisihan. Karena tidak ada orang (Muslim) yang menolak Al-Qur’an. Maka jika Anda katakan kepada seseorang: Ambil saja pendapat imam Fulan atau ulama Fulan, ia tidak akan merasa tenang. Namun jika Anda katakan kepadanya: Kembalilah kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, jika ia memiliki iman, maka pasti ia akan merasa tenang dan akan rujuk” (Syarah Al-Ushul As-Sittah, hal. 21).

Beliau juga mengatakan: “Wajib bagi kita semua untuk bersatu di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah. Perkara yang kita perselisihkan, kita kembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, bukan malah kita saling bertoleransi dan membiarkan tetap pada perbedaan. Bahkan yang benar adalah kita kembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Pendapat yang berkesesuaian dengan kebenaran, kita ambil, pendapat yang salah maka kita tinggalkan. Itulah yang wajib bagi kita, bukan membiarkan umat tetap pada perselisihan” (Syarah Al-Ushul As-Sittah, hal. 24).

Maka dakwah yang mengajak untuk membiarkan umat taqlid pada pendapat madzhab masing-masing, ormas masing-masing, partai masing-masing mempersilakan memilih pendapat mana saja, ini adalah dakwah yang keliru. Syaikh Shalih Al-Fauzan melanjutkan: “Adapun yang mengatakan: ‘biarkan mereka mengikuti pendapat madzhab masing-masing, biarkan mereka mengikuti akidah mereka masing-masing, setiap orang bebas berpendapat dan menuntut kebebasan berkeyakinan dan berpendapat’, ini adalah kekeliruan. Yang Allah larang dalam firman-Nya (yang artinya): ‘berpegang-teguhlah pada tali Allah kalian semuanya, dan janganlah berpecah-belah‘ (QS. Al Imran: 103). Maka wajib bagi kita untuk bersatu di atas Kitabullah dalam menyelesaikan perselisihan di antara kita.” (Syarah Al-Ushul As-Sittah, hal. 18).

 Adapun orang awam yang tidak tahu dalil dan tidak bisa memahaminya, maka ia boleh taqlid kepada fatwa ulama atau kepada pendapat madzhab. Selama ia belum mengetahui ilmunya. Ia boleh taqlid pada pendapat ulama yang ia yakini ilmunya dan diyakini ulama tersebut istiqamah berpegang pada dalil yang shahih. Bukan sekedar mengikuti pendapat yang enak dan mudah. Allah ta’ala berfirman:

فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَنْ تَعْدِلُوا

“Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu sehingga kalian akan menyimpang dari kebenaran” (QS. An-Nisa: 135).

Sulaiman At Taimi rahimahullah berkata,

لَوْ أَخَذْتَ بِرُخْصَةِ كُلِّ عَالِمٍ ، أَوْ زَلَّةِ كُلِّ عَالِمٍ ، اجْتَمَعَ فِيكَ الشَّرُّ كُلُّهُ

“Andai engkau mengambil pendapat yang mudah-mudah saja dari para ulama, atau mengambil setiap ketergelinciran dari pendapat para ulama, pasti akan terkumpul padamu seluruh keburukan” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya, 3172).

Adapun ketika ia memahami dalil dan ia sudah mengetahui ilmu, maka ia tidak boleh taqlid buta kepada pendapat ulama atau pendapat madzhab yang menyelisihi dalil. Syaikh Shalih Al-Fauzan menjelaskan:

“Ini tergantung kondisi masing-masing orang. Orang awam dan penuntut ilmu pemula mereka hanya bisa sebatas taqlid kepada ulama yang mereka percayai ilmunya dan ketaqwaannya. Maka boleh bagi dia untuk taqlid kepada salah satu madzhab yang merupakan madzhab Ahlussunnah.

Adapun muta’allim (orang yang serius belajar agama), yang ia memiliki kemampuan untuk menilai mana pendapat ulama yang kuat dan mana pendapat yang lemah, maka wajib baginya untuk memilih pendapat yang ditegakkan dengan dalil dari pendapat-pendapat para imam madzhab yang empat ataupun ulama yang lain. Orang yang demikian wajib mengamalkan dalil, karena ia memiliki kemampuan untuk itu.

Adapun manusia secara umum, mereka berbeda-beda keadaannya, tidak hanya berada pada satu tingkatan saja. Maka taqlid tidak diharamkan secara mutlak dan tidak diwajibkan secara mutlak. Namun yang tepat adalah sesuai dengan kondisi masing-masing orang. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Bertanyalah kepala ahludz dzikr (ahli ilmu) jika engkau tidak mengetahui” (QS. Al-Anbiya: 7).

Oleh karena itu, tidak boleh seseorang mengambil pendapat ulama yang sesuai dengan hawa nafsunya atau sesuai dengan seleranya. Sehingga ia mencari-cari pendapat yang ringan dan mudah yang tidak ditegakkan dengan dalil. Karena mereka hanya ingin menuruti selera dan hawa nafsunya. Ini tidak diperbolehkan.

Yang semestinya dilakukan adalah memilih pendapat ulama yang ditegakkan dengan dalil jika ia memiliki kemampuan untuk menimbang kuat-lemahnya pendapat” (Majmu’ Fatawa Syaikh Shalih Al-Fauzan, 2/704).

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufiq.

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/42910-bagaimana-orang-awam-menyikapi-perbedaan-pendapat-ulama.html